Sabtu, 29 September 2012

TUGAS 2 BAHASA INDONESIA


”Bahasa sebagai Alat Pencari Kerja”


Derasnya arus globalisasi di dalam kehidupan kita akan berdampak pula pada perkembangan dan pertumbuhan bahasa sebagai sarana pendukung pertumbuhan dan perkembangan budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi. Di dalam era globalisasi itu, bangsa Indonesia mau tidak mau harus ikut berperan di dalam dunia persaingan bebas, baik di bidang politik, ekonomi, maupun komunikasi.
Bagi orang asing, belajar Bahasa Indonesia diperlukan sebagai alat untuk mendapatkan sesuatu, misalnya pekerjaan, mengenal dan mempelajari budaya Indonesia, berwisata, berbisnis, mencari data untuk kepentingan riset dalam rangka memperoleh gelar, dan untuk kepentingan politik. Berbahasa Indonesia dengan bahasa baku dalam mencari pekerjaan sangat dibutuhkan, karena sebuah perusahaan tidak hanya menilai kemampuan intelektual atau keterampilan kita saja, tetapi tutur bahasa kita juga dinilai oleh perusahaan tersebut. Kesan pertama yang didapatkan oleh para penyaring calon pekerja yang dilalui oleh lamaran tertulis dan/atau wawancara dengan pencari kerja tersebut adalah tutur bahasa kita dan cara kita berkomunikasi dengan rekan kerja. Ketidaklancaran komunikasi antara calon pekerja dengan penyaring calon pekerja tersebut cenderung ditafsirkan sebagai ketidakmampuan tenaga pencari kerja tersebut untuk melaksanakan beban kerja lowongan yang ada.
Bahasa baku, termasuk lafal baku, dapat menjadi masalah jika ragam bahasa baku itu dijadikan sebagai suatu prasyarat untuk bisa diterima sebagai tenaga kerja dalam suatu lembaga atau perusahaan. Buruh-buruh di suatu pabrik atau perkebunan serta pesuruh, tukang kebun, dan tenaga administrasi rendahan di kantor-kantor tidak perlu dipersyaratkan menguasai bahasa Indonesia baku secara lisan dan tertulis sama baik dengan mandor atau kepala bagian di kantor-kantor.
Selain berbahasa Indonesia baku, juga dibutuhkan lancar atau paham berbahasa Inggris. Pada zaman sekarang, hampir seluruh perusahaan di Indonesia membutuhkan kita untuk bisa berbahasa Inggris.
Pada lowongan pekerjaan yang ada di berbagai surat-kabar atau iklan kerja, tampak jelas bahwa di samping kemampuan lain, bahasa Inggris telah menjadi syarat utama perekrutan karyawan. Mencari kerja tanpa dibarengi kemampuan bahasa Inggris yang menonjol, baik lisan maupun tulis, menyebabkan seseorang menanggung kekhawatiran tertentu. Persyaratan kemampuan bahasa Inggris itu seakan menjadi harga mati (fixed price) yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Bahasa Inggris telah dianggap sebagai alat utama meningkatkan kinerja seseorang. Entah benar atau salah asumsi demikian, fakta telah menunjukkan kecenderungan bahwa seseorang yang berkemampuan bahasa Inggis buruk tidak akan menemukan kemudahan dalam merintis atau meniti karir.
Bahasa Inggris bukanlah satu-satunya kemampuan yang dituntut oleh pangsa pasar kerja. Akan tetapi, bahasa Inggris tidaklah dapat dikesampingkan begitu saja—jika seseorang tidak ingin “dikesampingkan” oleh pangsa kerja itu sendiri. Dengan kalimat lain, berkemampuan bahasa Inggris yang bagus, lisan dan tulis, bukan lagi tuntutan yang mewah dan bergengsi, melainkan sebuah kewajaran dan (bahkan) keharusan. Dengan bantuan kemampuan bahasa Inggris yang memadai, kita akan memperoleh kemudahan dalam merintis suatu karir dan sekaligus mengembangkan karir tersebut.


Sumber :

TUGAS 1 BAHASA INDONESIA


Sinopsis dari Novel “Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur”

Novel ini memuat protes pada realitas sosial yang sarat pada kemunafikan. Pada novel ini diceritakan pergulatan seorang mahasiswi dan aktivitis jemaah Islam dengan idealisme tinggi, Nidah Kirani, yang digambarkan sebagai muslimah yang taat, tubuhnya tertutup jubah dan jilbab besar. Hampir semua waktunya dihabiskan untuk shalat, membaca Al Quran, dan berzikir.
Namun, di tengah perjalanannya ia mengalami kekecewaan yang mendalam, karena ia menemukan kemunafikan yang luar biasa dalam pertemuannya dengan berbagai orang yang selama ini mengatasnamakan agama, akhlak, dan idealisme. Nidah merasa dibodohi karena tidak tahu program dan arah gerak jemaah. Pemikiran jemaah dinilainya sebagai dogma-dogma yang tak masuk akal. Bagi Nidah, dogmatisme jamaah telah memberangus nalar kritis sekaligus keimanannya. Alhasil, musnah sudah obsesinya untuk berislam secara kaffah melalui Jamaah.
Kesadarannya memberontak sehingga Nidah melarikan diri dari jemaah dan mencoba hidup baru yang bebas. Pada suatu saat, Nidah bertemu seorang aktivis mahasiswa berhaluan kiri, kolega lama yang pernah menjadi teman diskusinya di kampus tempat ia menimba ilmu. Ia bertutur keluh, juga kekecewaannya terhadap jamaah, hingga keputusannya untuk melarikan diri yang penuh resiko. Perasaan kecewa terhadap jamaah itu sedikit terobati dengan hadirnya sosok aktivis mahasiswa sosialis itu.
Selang beberapa hari berlindung di naungan aktivis kiri itu, harkat dan martabatnya sebagai perempuan suci mulai ternodai. Sejak saat itu, diatas segala kecewa yang melandanya, dia mulai berontak pada "Tuhan"nya dengan caranya. Mulai mencoba merokok, mencicipi narkoba, sampai akhirnya berpetualang pada satu pria ke pria lainnya.
Hal ini yang menjungkir balikkan lagi keyakinan dan kepercayaannya. Karena ternyata tampang lahiriah tidak menjamin watak asli seseorang, terbukti dengan semua pria yang telah menidurinya adalah orang yang jika dipandang mata adalah orang-orang terhormat. Dalam suasana hati yang luluh lantak, kepercayaannya pada laki-laki, perkawinan, dan cinta pun menjadi nihil. Dan dengan perasaan marah, kecewa, dia berusaha untuk bangkit dan tak mau kalah. Dan pada akhirnya, ia melakukan perenungan, dan sampailah ia pada suatu kemantapan untuk menjadi seorang pelacur, sebagai upaya untuk memaknai eksistensi dirinya, sekaligus untuk menunjukkan bahwa menjadi pelacur berarti menguasai dan menundukkan laki-laki, bukan dikuasai dan ditundukkan laki-laki seperti halnya dalam sebuah lembaga pernikahan.



Sumber :