Sinopsis dari Novel “Tuhan, Izinkan
Aku Menjadi Pelacur”
Novel ini memuat protes pada realitas
sosial yang sarat pada kemunafikan. Pada novel ini diceritakan pergulatan
seorang mahasiswi dan aktivitis jemaah Islam dengan idealisme tinggi, Nidah
Kirani, yang digambarkan sebagai muslimah yang taat, tubuhnya tertutup jubah
dan jilbab besar. Hampir semua waktunya dihabiskan untuk shalat, membaca Al
Quran, dan berzikir.
Namun, di tengah perjalanannya ia mengalami
kekecewaan yang mendalam, karena ia menemukan kemunafikan yang luar biasa dalam
pertemuannya dengan berbagai orang yang selama ini mengatasnamakan agama,
akhlak, dan idealisme. Nidah merasa dibodohi karena tidak tahu program dan arah
gerak jemaah. Pemikiran jemaah dinilainya sebagai dogma-dogma yang tak masuk
akal. Bagi Nidah, dogmatisme jamaah telah memberangus nalar kritis sekaligus
keimanannya. Alhasil, musnah sudah obsesinya untuk berislam secara kaffah melalui Jamaah.
Kesadarannya memberontak sehingga
Nidah melarikan diri dari jemaah dan mencoba hidup baru yang bebas. Pada suatu
saat, Nidah bertemu seorang aktivis mahasiswa berhaluan kiri, kolega lama yang
pernah menjadi teman diskusinya di kampus tempat ia menimba ilmu. Ia bertutur
keluh, juga kekecewaannya terhadap jamaah, hingga keputusannya untuk melarikan
diri yang penuh resiko. Perasaan kecewa terhadap jamaah itu sedikit terobati
dengan hadirnya sosok aktivis mahasiswa sosialis itu.
Selang beberapa hari berlindung di
naungan aktivis kiri itu, harkat dan martabatnya sebagai perempuan suci mulai ternodai.
Sejak saat itu, diatas segala kecewa yang melandanya, dia mulai berontak pada
"Tuhan"nya dengan caranya. Mulai mencoba merokok, mencicipi narkoba, sampai
akhirnya berpetualang pada satu pria ke pria lainnya.
Hal ini yang menjungkir balikkan lagi
keyakinan dan kepercayaannya. Karena ternyata tampang lahiriah tidak menjamin
watak asli seseorang, terbukti dengan semua pria yang telah menidurinya adalah
orang yang jika dipandang mata adalah orang-orang terhormat. Dalam suasana hati
yang luluh lantak, kepercayaannya pada laki-laki, perkawinan, dan cinta pun
menjadi nihil. Dan dengan perasaan marah, kecewa, dia berusaha untuk bangkit
dan tak mau kalah. Dan pada akhirnya, ia melakukan perenungan, dan sampailah ia
pada suatu kemantapan untuk menjadi seorang pelacur, sebagai upaya untuk
memaknai eksistensi dirinya, sekaligus untuk menunjukkan bahwa menjadi pelacur
berarti menguasai dan menundukkan laki-laki, bukan dikuasai dan ditundukkan
laki-laki seperti halnya dalam sebuah lembaga pernikahan.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar