Sabtu, 08 Januari 2011

Waria


Waria

Waria (portmanteau dari Wanita-pria) adalah laki-laki yang lebih suka berperan sebagai perempuan dalam kehidupannya sehari-hari. Keberadaan waria telah tercatat lama dalam sejarah dan memiliki posisi yang berbeda-beda dalam setiap masyarakat. Walaupun dapat terkait dengan kondisi fisik seseorang, gejala waria adalah bagian dari aspek sosial transgenderisme. Seorang laki-laki memilih menjadi waria dapat terkait dengan keadaan biologisnya (hermafroditisme), orientasi seksual (homoseksualitas), maupun akibat pengondisian lingkungan pergaulan. Sebutan bencong atau banci juga dikenakan terhadap waria dan bersifat negatif.

Menjadi waria sebuah kodrat?
Ario Pamungkas alias Merlyn Sopjan pernah menuturkan, “Kami tak pernah meminta dilahirkan sebagai waria” . Bagi Ario, dengan mendandani diri seperti perempuan, ia mendapatkan kenikmatan batin yang begitu dalam. Ia seolah berhasil melepas beban psikologi yang selama ini masih memberatkannya. (Republika, 29/10/2004)
Waria, menurut Pakar Kesehatan Masyarakat dan pemerhati waria dr Mamoto Gultom, adalah subkomunitas dari manusia normal. Bukan sebuah gejala psikologi, tetapi sesuatu yang biologis. Kaum ini berada pada wilayah transgender: perempuan yang terperangkap dalam tubuh lelaki. (Kompas, 07/04/2002).
Kenapa orang bisa menjadi waria, menurut Guru besar psikologi UGM Prof Dr Koentjoro, bisa diakibatkan bila peran ibu dalam mengasuh anaknya lebih besar dan memperlakukan anak laki-laki layaknya perempuan. Mungkin dalam kehidupan keluarga mayoritas perempuan sehingga jiwa yang terbentuk adalah jiwa perempuan (jawapos.com, 08/06/2005)
Pada hakikatnya, penuturan Prof. Dr. Koentjoro, kecenderungan menjadi waria lebih diakibatkan oleh salah asuh atau pengaruh lingkungan sekitarnya. Bukan penyakit turunan atau karena urusan genetik. Ini pun diakui oleh Merlyn Sopjan ( Republika, 29/10/2004 ).
Parahnya, opini yang dikembangkan oleh media massa tertentu membuat pilihan untuk menjadi waria adalah hal yang wajar, normal, manusia bin kodrati. Mereka semakin merasa menjadi waria bukanlah sebuah penyimpangan, tapi hanya sebuah perbedaan yang terdapat pada diri manusia sama seperti halnya orang yang cacat secara fisik. Sehingga mereka berusaha memperjuangkan haknya untuk diterima oleh masyarakat. Seperti yang terjadi di Papua pada tahun 1992-1997. Mereka berhasil memperjuangkan pencantuman “waria” pada kolom-kolom kartu tanda penduduk (KTP).
Padahal pilihan untuk menjadi waria bagi seorang muslim, adalah pilihan buruk yang dibenci Allah dan RasulNya. Rasulullah saw., sebagaimana dituturkan Ibn Abbas, telah melaknat perilaku seperti itu:
Rasulullah saw. telah melaknat para lelaki yang menyerupai para wanita dan para wanita yang menyerupai para lelaki. (HR al-Bukhari, at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ahmad)
Adanya kata-kata ‘melaknat' ( la‘ana ) dalam hadis di atas adalah indikasi ( qarînah ) yang menunjukkan bahwa perilaku semacam itu telah diharamkan oleh Rasulullah saw. Sehingga lebih pas kalo laki-laki yang meniru perempuan disebut sebagai pelaku maksiat, bukannya menyesuaikan dengan kodrat. Betul?

Bagian dari serangan budaya Barat
Maraknya kampanye legalisasi keberadaan waria menunjukkan gencarnya serangan budaya Barat ke negeri kita. Hal ini berdampak pada dua hal :
Pertama , setelah keberadaan mereka dipopulerkan televisi dalam sinetron atau iklan komersil, masyarakat menjadi penasaran ingin mengtahui lebih banyak lagi dengan kehidupan waria. Dari asal-usulnya, suka-dukanya, kesehariannya, sampai masa depan mereka. Liputan tentang diskriminasi terhadap waria dikemas sedemikian rupa untuk memancing emosi dan perasaan kasihan pemirsa. Informasi seputar waria yang disuguhkan lebih diarahkan kepada legalisasi waria di mata masyarakat.
Media mampu menyulap kebiasaan yang salah menjadi sesuatu yang lumrah. Waria dijadikan produk hiburan. Dengan cara bicaranya yang kemayu, kata-kata asing khas kamus gaulnya Debby Sahertian yang mengundang gelak tawa. Cara berdandannya juga agak sedikit unik. Wajah dipoles sana-sini pake kosmetik biar tampak cantik. Meski hasilnya lebih sering bikin yang ngeliat cekakak-cekikik.
Dan akhirnya, terjadi pergeseran sudut pandang dan sikap kaum Muslimin terhadap keberadaan waria. Kita seperti tidak mempunyai pilihan untuk mengatakan kalau perilaku mereka itu keliru. Yang ada, kita diberi pilihan untuk cuek bebek atau mendukung. Sebab dalam kehidupan sekuler yang banyak diopinikan media, kebebasan dalam berperilaku adalah hak individu yang tidak bisa diganggu gugat. Dan menjadi waria, merupakan salah satu ekspresi kebebasan yang dimaksud. Kalau ada yang tidak setuju? Ya, dilarang dengan keras untuk mengganggu. Termasuk tidak boleh aktif mengingatkan waria untuk kembali ke jalan yang benar. Apalagi sampai melarang atau memvonis bersalah. Bisa-bisa berurusan ama aparat karena dianggap mengganggu kebebasan orang lain.
Kedua , maraknya ekspos media terhadap waria menjadi cara yang jitu yang dilakukan musuh-musuh Islam untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari kampanye penerapan syariat Islam yang tengah gencar di berbagai daerah di nusantara ini. Aktivitas amar makruf nahyi munkar pun terlupakan. Masyarakat semakin cuek dengan berbagai permasalahan yang muncul akibat diterapkannya sistem sekuler. Jika dibiarkan, boleh jadi negeri kita akan semakin liberal dan mungkin suatu saat nanti legalisasi perkawinan sejenis nggak cuma terjadi di Belanda, Spanyol atau Kanada. Tapi juga di negeri dengan penduduk muslim terbesar di dunia ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar